Selasa, 10 April 2012

Pemilu 1971

Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun. Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal
dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat
pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun
merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus
menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu. Dalam hubungannya dengan pembagian kursi,cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demiki-an lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma. Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan
stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemi-lihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan
stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar. Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai

Tata cara mengemukakan pendapat

Tata cara mengemukakan pendapat

Kemerdekaan mengemukakan pendapat merupakan hak setiap warga negara. Namun dalam menyampaikan pendapat, kita mesti memahami bagaimana cara menyampaikan pendapat. Selain itu kita juga harus mematuhi tata cara menyampaikan pendapat. Hal ini penting karena tanpa memahami tata caranya, kita tentu tidak menyampaikan pendapat dengan baik.
Sesuai dengan pasal 9 ayat 1 UU No. 9 Tahun 1998, menyampaikan pendapat di muka umum dilakukan dengan berbagai cara antara lain sebagai berikut :
a. Unjuk rasa atau demonstrasi yaitu kegiatan yang dilakukan seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya, secara demonstratif di muka umum.
b. Pawai ialah cara menyampaikan pendapat dengan arak-arakan di jalan umum.
c. Rapat umum adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pikiran dan pendapat dengan tema tertentu.
d. Mimbar bebas adalah kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

Sedangkan pasal 10 UU No. 9 Tahun 1998 mengatur tentang tata cara menyampaikan pendapat. Tata cara menyampaikan pendapat di muka umum adalah sebagai berikut :
a. Penyampaian pendapat di muka umum wajib memberitahukan secara tertulis kepada kepolisian Republik Indonesia (Polri) setempat. Polri setempat adalah Satuan Polri terdekat dimana kegiatan penyampaian pendapat akan dilakukan dan disesuaikan dengan luas lingkup penyampaian pendapat tersebut, misalnya Polsek, Polres, Polda atau Markas Besar Polri.
b. Pemberitahuan secara tertulis tersebut disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin atau penanggung jawab kelompok.
c. Pemberitahuan sebagaimana yang dimaksud selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima Polri setempat.
d. Pemberitahuan secara tertulis tersebut tidak berlaku bagi kegiatan ilimiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
e. Surat pemberitahuan sebagaimana yang dimaksud memuat :
1. Maksud dan tujuan
2. Tempat, lokasi dan rute
3. Waktu dan lama
4. Bentuk kegiatan
5. Penanggung jawab
6. Nama dan alamat organisasi, kelompok/perorangan
7. Alat peraga yang digunakan
8. Jumlah peserta
f. Penanggung jawab kegiatan wajib bertanggung jawab agar kegiatan tersebut terlaksana secara aman, tertib dan damai.

Penyampaian pendapat di muka umum seperti demonstrasi, unjuk rasa, pawai, rapat umum, mimbar bebas, dilakukan di tempat-tempat terbuka untuk umum kecuali :
a. Di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instansi militer, rumah sakit, pelabuhan udara dan laur, stasiun kereta api, terminal angkutan dan obyek-obyek vital nasional
b. Pada hari besar nasional yaitu pada tahun baru, 17 Agustus dan hari besar keagamaan.Hari besar keagamaan yang dimaksud meliputi : Hari Raya Waisak, Hari Raya Nyepi, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Natal dan lain-lain.

Rabu, 04 April 2012

Teori Kedaulatan

MACAM TEORI KEDAULATAN

Teori kedaulatan negara yang dikemukakan oleh para ahli kenegaraan adalah sebagai berikut.
a. Teori Kedaulatan Tuhan
Menurut teori ini kekuasaan tertinggi dalam negara berasal dari Tuhan. Artinya, raja atau penguasa negara mendapat kekuasaan tertinggi dari Tuhan sehingga kehendak raja atau penguasa juga merupakan kehendak Tuhan.

b. Teori Kedaulatan Raja
Teori kedaulatan raja merupakan perwujudan dari teori kedaulatan Tuhan. Kekuasaan tertinggi di tangan raja atau penguasa. Oleh karena itu, raja dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan di bumi yang mendapat kekuasaan langsung dari Tuhan sehingga kekuasaan raja mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

c. Teori Kedaulatan Negara
Berdasarkan teori ini, kekuasaan tertinggi terletak pada negara. Negara sebagai lembaga tertinggi yang memiliki kekuasaan. Kedaulatan negara muncul bersama dengan berdirinya suatu negara.

d. Teori Kedaulatan Hukum
Teori kedaulatan hukum menekankan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara terletak pada hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Oleh karena itu, pelaksanaan pemerintahan dibatasi oleh norma sehingga tidak bersifat absolut.

e. Teori Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat mengajarkan bahwa kekuasaan negara tertinggi terletak di tangan rakyat. Sumber ajaran kedaulatan rakyat adalah demokrasi. Teori ini memunculkan timbulnya suatu teori pembagian kekuasaan seperti dalam ajaran trias politika yang dikemukakan oleh Montesquieu.

Teori trias politika menganjurkan agar kekuasaan pemerintahan negara dipisahkan menjadi tiga lembaga, yaitu legislatif (membuat dan menetapkan undang-undang), eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan yudikatif (mengawasi pelaksanaan undang-undang). Suatu negara yang menganut teori kedaulatan rakyat mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
1) Negara memiliki lembaga perwakilan rakyat sebagai badan/majelis yang mewakili atau mencerminkan kehendak rakyat.
2) Pelaksanaan pemilu untuk mengangkat dan menetapkan anggota lembaga perwakilan diatur oleh undang-undang.
3) Kekuasaan atau kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh badan atau majelis yang bertugas mengawasi pemerintah.
4) Susunan kekuasaan badan atau majelis itu ditetapkan dalam undang-undang dasar.